Senin, 09 November 2009

Hutan “The Virgin Forest ” Batang Toru Harta Karun Tapanuli Utara Dan Dilemanya


TAPANULI UTARA (TAPANULI NEWS)
Kawasan Hutan Batang Toru secara goegrafis terletak antara 98o 53, - 99 o 26 , bujur timur dan 02o 03, - 01o 27, lintang utara. Hutan alami (primer) yang tersisa saat ini di Batang Toru seluas 136.284 ha dan berada di blok barat seluas 81.344 ha, di blok timur 54.940 ha. Secara administrative lokasi ini terletak di wilayah 3 kabupaten, yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.
89.236 ha atau sekitar 65,5 persen terletak di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang mengairi areal persawahan di lembah Sarulla dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sipansihaporas serta Aek Raisan. Sisanya dibagi dua wilayah Kabupaten Tapsel dan Tapteng. Yayasan Ekosistim Lestari (YEL) mengklaim status hutan batang toru saat ini sebagaian besar tidak memadai untuk mewujudkan pengelolaan jasa lingkungan yang bisa memberikan mamfaat berkelanjutan kepada masyarakat.
Dari hasil survey YEL, hutan batang toru merupakan daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS, dimana kawasab DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang masih utuh dibagian hulunya dan merupakan fungsi penting sebagai penyangga dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. 10 sub-DAS yang berasal dari hutan Batang Toru adalah Sipansihaporas, Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan), Aek Garoga, Aek Tapus dan Sungai Pandan.
Dalam hal ini, air di Batang Toru sangat penting untuk masyarakat sekitarnya untuk lokasi perkebunan dan persawahan, terutama untuk kehidupan manusia. Disamping untuk sumber kehidupan itu, saat ini dilema untuk mempertahankan keperawanan (The Virgin Forest) hutan ini menjadi sebuah tantangan bagi semua pihak untuk tetap melestarikan dan menjaganya.
Dilema kedua adalah rencana pembangunan industri Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal PLTP Sarulla di Taput, Pertambangan Emas oleh PT.Agincourt Oxiana (dulu PT.Newmont Horas Nauli) di Tapsel dan PLTA Sipansihaporas di Tapteng. Ketiga industri ini tentunya sangat membutuhkan sumber air dari hutan Batang Toru.
Proyek PLTP Sarulla tentunya akan sangat membutuhkan ketersediaan sumber air bawah tanah yang berkelanjutan, maka semuanya itu tergantung kepada kelestarian ekosistim yang ada di hutan tersebut. Proyek penambangan emas oleh PT.Agincourt yang berdekatan dengan hutan Batang Toru di blok barat juga sangat mengharapkan resapan air dari hutan Batang Toru, dimana sebagaian dari wilayah pertambangan ini masih merupakan tutupan hutan primer. Sedangkan untuk PLTA Sipansihaporas jelas merupakan teknologi yang membutuhkan perhitungan cukup teliti mengenai debit air yang akan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Dimana PLTA Sipansihaporas ternyata dapat menghasilkan tenaga listrik 50 MW.
Khusus untuk PLTA Sipansihaporas, pihak pengelola proyek ini sudah sepantasnya berterimakasih kepada Pemkab/Kabupaten Tapanuli Utara, karena rata-rata air sungai tangkapan Hutan Batang Toru bersumber dari wilayah kabupaten ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah PLTA Sipansihaporas akan nantinya akan memberikan sumbangsih semisal Community Developmen (CD) atau semacam sumbangan atas pemfaatan jasa pelestarian alam ke Kabupaten Tapanuli Utara ?
Hutan Batang Toru memiliki Geografi/topografi yang sangat rumit dan bergelombang. Jenis hutan yang dapat ditemui saat ini adalah hutan pegunungan rendah, hutan gambut, hutan batu kapur dan hutan berlumut.
Tanah dan air di hutan Batang Toru memiliki keasaman PH 4-5 dengan air berwarna coklat jernih. Sedangkan jenis-jenis pohon yang ada didominasi Cemara Gunung (Atturmangan/Casuarina sp), Sappinur Tali (Dacridium spp) dan jenis-jenis mayang (palaquiumspp) disamping itu juga terdapat jenis-jenis pohon Famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae.
Survei Vegetasi yang dilakukan oleh YEL beberapa tahun yang lalu, ditemukan 11 jenis tanaman yang merupakan spesies baru di dunia ilmiah. Disamping itu juga ditemukan beragam jenis vegetasi khas Sumatera, seperti bunga bangkai Rafflesia gadutensis dan bermacam-macam bunga anggrek. Sementara itu, rata-rata curah hujan di hutan Batang Toru bias mencapai 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan dilokasi tersebut cukup tinggi, karenanya suhu pada malam harinya dilokasi ini bias menurun hingga 14 derajat celcius.

Ancaman Terhadap Kelestarian Hutan Batang Toru

Ancaman kelestarian hutan Batang Toru kini mulai berlangsung, hutan ini terus menerus terkikis akibat perambahan dan penebangan liar yang terdapat disisi barat dan selatan wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Disamping itu, perburuan terhadap satwa langka yang lambat perkembangbiakannya juga sudah berlangsung sejak lama.
Pemberian izin penebangan dengan mengeluarkan Hak Pemamfaatan Hasil Hutan (HPH) oleh Departemen Kehutanan di kawasan ini, hendaknya ditinjau ulang guna keselamatan hutan batang Toru dan ekosistim yang ada. Pertambangan emas disekitar lokasi hutan ini akan memberikan dampak buruk.
Untuk itu, 3 kabupaten yang memiliki areal Hutan Batang Toru hendaknya sepakat dan duduk bersama dalam melestarikan kawasan hutan yang masih tergolong perawan ini. Syaratnya, ketiga kabupaten harus menyepakati perubahan status hutan Batang Toru dari Hutan Produksi menjadi hutan lindung, menata batas kawasan hutan masing-masing kabupaten di Batang Toru, membentuk paying hokum yang tepat untuk pengelolaan multi pihak dan kepentingan lintas kabupaten, menghentikan perburuan satwa langka dan menggalang dana guna pelestarian kawasan hutan ini.(HORDEN SILALAHI)

Jumat, 06 November 2009

LEGENDA PUTRI SIBORU NATUMANDI HUTABARAT

Dahulu, di Dusun Banjar Nahor,Desa Hutabarat, Kecamatan Tarutung, pasangan Suami Istri (Pasutri) memiliki seorang anak tunggal yang diberi nama Si Boru Natumandi Hutabarat,g adis ini selalu dipingit oleh kedua orangtuanya karena parasnya yang cukup cantik bak seorang bidadari. Di zamannya, gadis ini diyakini yang tercantik diantara gadis-gadis di Silindung (Tarutung). Tak heran, banyak pria yang tergila-gila kepadanya. Namun gadis ini menurut cerita masyarakat dan keturunan keluarganya yang saat ini masih hidup terakhirnya menikah dengan seekor ular.
Berikut hasil penelusuran wartawan media ini, tentang legenda Si Boru Natumandi selama sebulan lebih. Berawal saat si boru Natumandi diusianya yang sudah beranjak dewasa, memiliki pekerjaan sehari-hari sebagai seorang petenun ulos. Disebuah tempat khusus yang disediakan oleh orangtuanya, setiap hari Si boru Natumandi lebih sering menyendiri sambil bertenun, kesendirian itu bukan karena keinginannya untuk menghindar dari gadis-gadis desa seusianya, namun karena memang kedua orangtuanya lah memingit karena terlalu sayang.
Sayang, saat penelusuran ke berbagai narasumber untuk mengetahui siapa sebenarnya nama kedua orangtuanya, marga-marga Hutabarat yang tinggal di Desa Hutabarat Banjar Nauli, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara (Tempat asal kampung halaman Si boru Natumandi) tidak satupun yang mengetahui persis siapa nama kedua orangtuanya.
Namun salah satu warga Desa Hutabarat yakni Lomo Hutabarat (51) yang mengaku satu garis keturunan dengan keluarga Si Boru Natumandi belum lama ini berkata, bahwa dulunya kampung halaman Siboru Natumandi adalah di Dusun Banjar Nahor, Desa Hutabarat, namun dusun itu kemudian pindah sekitar 500 meter dari desa semula dan sekarang diberi nama Dusun Banjar Nauli.
Dikatakan Lomo Hutabarat, bahwa dari 3 anak si Raja Nabarat (Hutabarat) antara lain Sosunggulon, Hapoltahan dan Pohan, Si boru Natumandi dikatakan berasal dari keturunan Hutabarat Pohan. Hanya penuturan itu yang dapat diperoleh dari Lomo Hutabarat. Sementara itu keturunan Si boru Natumandi lainnya yakni L Hutabarat (76) mengisahkan, bahwa dia juga tidak mengetahui persis cerita yang sebenarnya tentang Si boru Natumandi, menurutnya ada beberapa versi tentang legenda gadis cantik ini.
Berikut kisah Siboru Natumandi yang diketahui L Hutabarat. Suatu hari di siang bolong, Si boru Natumandi sibuk bertenun di gubuk khususnya, tiba-tiba seekor ular besar jadi-jadian menghampirinya, konon ular tersebut dikatakan orang sakti bermarga Simangunsong yang datang dari Pulau Samosir. Saat ular itu berusaha menghampiri si boru Natumandi, ia justru melihat sosok ular tersebut adalah seorang pria yang gagah perkasa dan tampan. Saat itulah, sang ular berusaha merayu dan mengajak Si boru Natumandi untuk mau menikah dengannya.
Melihat ketampanan dan gagahnya sang ular jadi-jadian tersebut, Siboru Natumandi akhirnya menerima pinangan tersebut, setelah pinangannya diterima, sang ular kemudian mengajak Si Boru Natumandi untuk pergi menuju kearah sungai Aek Situmandi dan melewati tempat pemandian sehari-hari Si boru Natumandi di Sungai Aek Hariapan. Dari tempat itu, mereka meninggalkan pesan kepada orangtua Si Boru Natumandi dengan cara menabur sekam padi dari tempat bertenun hingga ke Liang Siboru Natumandi sekarang. Pesan sekaligus tanda itu artinya agar Bapak/Ibu dan semua keluarga mengetahui kalau dia telah pergi dan akan menikah dengan seorang pria, dimana sekam padi tersebut bermakna sampai dimana sekam ini berakhir, disitulah Si Boru Natumandi berada.
Sore harinya, saat kedua orangtuanya pulang dari perladangan, mereka mulai curiga melihat putri semata wayang mereka tidak ada ditempatnya bertenun dan juga tidak ada dirumah, akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk memberitahukan warga sekitar untuk melakukan pencarian.
Melihat sekam padi yang bertaburan bak sebuah garis pertanda dan tak kunjung ditemukannya Si boru Natumandi hingga keesokan harinya, akhirnya taburan sekam di tepi sungai Aek Situmandi dan berujung disebuah liang/gua yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari kampung halaman Si boru Natumandi diyakini kalau Si boru Natumandi menikah dengan seekor ular.
Namun versi cerita lainnya, ternyata Si boru Natumandi tidak menikah dengan siluman ular yang bermarga Simangunsong, akan tetapi siluman ular tersebut malah meninggalkan si boru Natumandi begitu saja disebuah hamparan tak berpenduduk.
Setelah ditinggalkan begitu saja, Si boru Natumandi terus menerus menangis karena telah tertipu siluman ular tersebut, namun ketika itu seorang pengembala datang dan menghampirinya, penggembala tersebut juga terpikat melihat keindahan tubuh dan kecantikannya, lalu sipengembala mengajaknya agar mau menikah dengannya. Konon dalam versi ini, si pengembala tersebut dikatakan bermarga Sinaga.
Sipengembala kemudian membawa Si boru Natumandi ke Pulau Samosir untuk dinikahi. Berselang beberapa generasi keturunan si boru Natumandi dan sipengembala bermarga Sinaga tersebut di Samosir, keturunannya dikatakan pernah berusaha mencari asal usul si boru Natumandi (Untuk mencari Tulang/pamannya). Usaha pun dimulai dengan menyeberangi Danau Toba dengan sebuah perahu kayu menuju Kota Tarutung dengan membawa sejumlah makanan khas adat batak. Namun sesampainya di Sipoholon (Kota Sebelum Tarutung saat ini) ada keturunan Hutabarat Pohan bermukin disana, yakni dari keturunan Raja Nabolon Donda Raja.
Saat rombongan bertanya tentang Si boru Natumandi, keturunan Raja Nabolon Donda Raja yang tinggal di Sipoholon langsung mengakui kalau merekalah keturunan si boru Natumandi, dan saat itu makanan yang dibawa keturunan si boru Natumandi langsung mereka terima hingga akhirnya acara syukuran pun dilakukan. Padahal keturunan Si boru Natumandi sebenarnya adalah anak kedua dari si Hutabarat Pohan yakni si Raja Nagodang yang sampai saat ini masih ada tinggal di Dusun Banjar Nauli.
Setelah acara syukuran dilakukan, rombongan keturunan Si Boru Natumandi pun berangkat kembali ke Samosir untuk memberitahukan kabar tersebut kepada keluarga. Namun saat menyeberangi Danau Toba perahu yang mereka tumpangi tenggelam hingga semua yang ada dalam perahu meninggal dunia.
Versi selanjutnya, Si boru Natumandi dikatakan menikah dengan resmi, hal ini menurut L Hutabarat, karena sejak dia masih kecil pernah melihat sebuah guci yang terbuat dari kayu tempat mas kawin si boru Natumandi di rumah saudaranya boru Simatupang. Saat itu, boru Simatupang mengatakan kepada L Hutabarat bahwa guci tersebutl adalah tempat mas kawin si boru Natumandi.
Guci tersebut konon memiliki sejarah tersendiri, dimana isi guci tersebut hanya dipenuhi kunyit yang suatu saat akan berubah menjadi kepingan/batangan emas, hal ini diberikan dan dipastikan keluarga suami Si boru Natumandi yang memiliki kesaktian, dan selanjutnya kepada kedua orangtuanya diminta untuk tidak membuka guci tersebut sebelum tujuh hari tujuh malam. Akan tetapi, orangtua Si boru Natumandi melanggar permintaan tersebut.
Setelah kedua orangtuanya membuka guci itu, ternyata kunyit tersebut sudah mulai berubah mejadi batangan emas murni. Nasib sial pun dialami kedua orangtua si boru Natumandi kala itu. Tatkala usia orangtua si boru Natumandi beranjak ujur, akhirnya mereka menimbun emas tersebut di Dolok Siparini (Masih di Desa Hutabarat) karena takut akan menjadi bahan rebutan bagi adik-adiknya dan keluarganya (Dari pihak laki-laki) suatu saat nanti, sebab banyak diantara keluarganya yang mengetahui tentang kisah guci ini.
“Cerita saya ini bukanlah yang menjadi sejarah yang pasti, saya juga hanya mendengar cerita-cerita dari sejak saya masih kecil, sehingga cerita saya tadi bukanlah yang bisa saya bilang pasti, kalau cerita sejarah yang sebenarnya tidak ada lagi sekarang yang tahu,” tutur L Hutabarat sambil meneguk kopinya yang sudah mulai dingin.
Saat ini, lokasi Gua Liang Si Boru Natumandi dijadikan sebagai salah satu objek wisata oleh Pemkab Taput. Banyak orang berkunjung ke tempat ini untuk meminta rejeki atau hal-hal lain. Hal terbukti dimana dilokasi liang Si Boru Natumandi terdapat tumpukan-tumpukan sesajen yakni berupa puntungan-puntungan rokok yang tersusun teratur dan beberapa kelopak daun sirih. Sayangnya, penataan objek wisata ini masih kurang mendapat perhatian dari pihak Pemkab Tapanuli Utara. Sebab disekitar lokasi ini, masih belum ada penataan objek wisata yang baik, dan masih banyaknya sampah di areal gua ini.(Horden Silalahi/081263380333/085261000945)

Sejarah Lahirnya Lepat “Ombus-ombus ” Dari Siborongborong

Almarhum Anggiat Siahaan Pencetus Nama Ombus-ombus No.1


Sekitar 60 tahun silam zaman kemerdekaan Indonesia, gerak perekonomian masyarakat di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara mulai Nampak dengan berbagai kegiatan aktivitas perdagangan, mulai perdagangan hasil pertanian hingga semilan bahan pokok. Namun disisi lain, kreativitas masyarakat didaerah ini muncul, salah satunya adalah membuat dan menjual lepat dengan ciri khas tersendiri.
Memang, sebagian besar daerah memiliki ciri khas masakan khas masing-masing dan hingga saat ini selalu dipertahankan dengan berbagai alasan mulai dari adat, budaya maupun alas an tertentu lainnya. Demikian halnya di Kecamatan Siborongborong, daerah ini memang cukup strategis untuk zona kawasan bisnis, karena berada di daerah Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Tarutung-Balige. Kawasan ini juga berada dipertengahan daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Humbahas. Sehingga tak bias dipungkiri, banyak pedagang dari ketiga kabupaten tersebut melakukan pengembangan usaha di daerah ini.
Awalnya, sekitar tahun 1940-an, almarhum Musik Sihombing lah yang memulai usaha berjualan lepat ini yakni di rumahnya, di Jalan Balige Pusat Pasar Kecamatan Siborongborong. Namun kala itu, Almarhum Musik Sihombing memberi nama lepat tersebut “Lappet Bulung Tetap Panas”. Usaha tersebut dinilai warga cukup menjanjikan, karena pembelinya cukup lumayan.
Dinilai berhasil, Almarhum Anggiat Siahaan dating dari Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong mulai ikut membuat lepat seperti yang dimulai oleh Almarhum Musik Sihombing. Dibantu sang istri, Almarhum Horlina boru Nababan, akhirnya Almarhum Anggiat Siahaan pun mulai berjualan lepat dengan cara menganyuh sepeda dari desanya.
Saat berjualan, Almarhum Anggiat Siahaan mungkin terlalu rancu menawarkan nama jualannya yang terlalu panjang yakni “lappet Bulung Tetap Panas” seperti yang dimulai Almarhum Musik Sihombing. Sehingga muncullah ide kreatif Almarhum Anggiat Siahaan untuk memberinya nama baru yang lebih simple dan menarik. Nama lepat tersebut dia beri usul “Ombus-ombus No.1”. Kalau menilik soal nama dalam Bahasa Batak tersebut Ombus-ombus berarti tiup-tiup. Mungkin alas an Anggiat memberi nama tersebut disebabkan lepat yang terbuat dari tepung beras ini lebih enak dimakan saat panas-panas.
Namun pembuatan nama baru ini bukannya berjalan dengan mulus begitu saja, sejak nama baru itu dikumandangkan Almarhum Anggiat, pertikaian soal namapun terjadi dengan almarhum Musik Sihombing (Tidak dikisahkan dalam berita ini). Pertikaian itu berakhir seiring dengan waktu, dan Almarhum Anggiat Siahaan tetap mempertahankan nama yang dicetuskannya itu tanpa memikirkan hal-hal lain.
Hampir setiap hari, Almarhum Anggiat Siahaan menjajakan lepat Ombus-ombus No.1-nya ke Pasar Siborongborong. Ditengah ramainya Pasar Siborongborong, Alamarhum Anggiat tetap gigih menjajakan lepatnya. Sementara dirumah, sang istri Almarhum Herlina Boru Nababan sudah menyiapkan lepat baru untuk dijual keesokan harinya. Dengan tekun dan kerja keras, kedua Pasangan Suami Istri (pasutri) ini mampu meraup keuntungan yang cukup untuk membiayai kebutuhan rumahtangga meereka hingga dari keduanya dikaruniai 8 anak ( Dua laki-laki dan Enam perempuan).
Saban hari hingga bertahun-tahun lamanya, dari subuh hingga magrib, Almarhum Anggiat yang dikenal pekerja keras ini terus mengembangkan usahanya. Hingga suatu ketika, ia mendapat kado dari pihak mertuanya (Marga Nababan) untuk membangun sebuah gubuk dagangannya di depan Terminal Mini Siborongborong. Kala itu (Sekitar tahun 1070-an), menurut anaknya Walben Siahaan (51) yang saat ini meneruskan usaha orangtuanya mengisahkan, Jumat (30/1) bahwa gubuk itu sangatlah sederhana atau ala kadarnya. “Yang penting bisalah untuk tempat berjualan,” tutur Walben Siahaan.
Didepan gubuk kecil itu, Almarhum Anggiat Siahaan langsung membuat plang tanda “Ombus-ombus No.1”. Dan sejak itulah, Almarhum Anggiat tidak lagi menganyuh sepedanya untuk berjualan, melainkan hanya menunggu di gubuk yang baru dibangunnya. Pelan tapi pasti, dengan bantuan anak-anaknya, usaha keluarga itu pun terus berjalan lancar.
Tahun 1994, Alamrhum Anggiat Siahaan akhirnya dipanggil oleh-Nya, dan Meninggalkan sang almarhum istri Horlina boru Nababan (Meninggal tahun 2002) dan kedalapan anaknya. Namun perjuangan keras hidupnya itu tak berakhir sia-sia, tiga anaknya berhasil masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara yang lainnya kebanyak berwiraswasta

Walben Siahaan Teruskan Usaha Ombus-ombus No 1

Walau kini berbagai jenis jajanan modern muncul diperjual belikan terutama di pasar-pasar atau pinggiran jalan Siborongborong, Walben Siahaan (51) anak kandung Almarhum Anggiat Siahaan (Pencetus nama Ombus-ombus No.1) ini tetap mempertahankan usaha yang dirintis oleh almarhum orangtuanya.
Walben Siahaan yang mempersunting sang istri tercinta Besinna Boru Togatorop (42) dan dikarunia dua anak ini malah semakin mengembangkan nama Ombus-ombus untuk bias dikenal dan dikenang oleh masyarakat luas. Walben yang kini menjadi Kepala Desa Pohan Tonga , Kecamatan Siborongborong ini dengan tidak mau kalah dengan almarhum orangtuanya. Apa ide kreatif Walben itu?, ide itu adalah dengan membuka sebuah perusahaan jasa angkutan umum berbentuk persekutuan komanditer yang diberi nama CV. Ombus-ombus.
Apa yang membuat Walben Siahaan untuk tetap mempertahankan nama Ombus-ombus No.1?. Dikisahkannya, bahwa dulunya almarhum ayahnya, tak pernah mengenal lelah untuk menjajakan lepat yang dibungkus dengan daun pisang dan dicampur dengan gula merah dan gula pasir ini. “Walau hujan dan terik mentari dipersimpangan Jalinsum yang ada Siborongborong, dengan menganyuh sepeda dan dibelakangnya dibuat kotak tempat lepat Ombus-ombus No1. Ayahku tetap mengejar pembeli, bahkan menawarkannya ke bus-bus angkutan yang sengaja berhenti di Simpang Tiga Kota Siborongborong. Jadinya saya memaknai perjuangan keras itu sampai sekarang, hal ini juga saya ceritakan kepada kedua anak saya,” tutur Walben Siahaan, Jumat (30/1) di rumahnya.
Kembali diceritakannya, berkat perjuangan keras sang ayah, ia pun bias menikmati harta peninggalan orangtuanya, apa itu? Sebuah gedung bertingkat yang kini ditempatinya hasil peninggalan Almarhum kedua orangtuanya. Letaknya di Jalan Sisingamangaraja atau persis didekat terminal mini Siborongborong. Semenjak bangunan itu permanen, pembeli yang datang kerumahnya yang berbentuk warung (Lapo-dalam bahasa Batak) semakin ramai. “Pembeli yang datang tidak memandang usia, semua kalangan datang, bahkan masyarakat yang melintas dari Siborongborong ini sengaja singgah untuk membeli oleh-oleh Ombus-ombus No.1, bahkan untuk acara-acara besar pun sering dipesan khusus, seperti pertemuan Usnsur Muspida Taput, Tobasa, Humbahas atau acara pernikahan dan lain-lain,” kata Walben.
Ditengah usaha kerja keras Walben Siahaan untuk mengusahai jualan lepat ini, sang istrinya Besinna boru Togatorop bahkan disokongnya untuk menjadi calon anggota DPRD Taput periode 2009/2014 dari Daerah Pemilihan (Dapem 2) yang meliputi Kecamatan Siborongborong, Sipoholon, Parmonagan, Muara dan Pagaran. Jumat (30/1) Besianna boru Togatorop mengatakan, keinginanya untuk maju menjadi Caleg tak lain adalah untuk mendukung pengembangan perekonomian masyarakat dengan budaya kerja keras serta melestarikan adat dan budaya (Bagian dari sektor pariwisata) daerah ini.
“Perjuangan istri saya memang berat, tapi kami optimis, berkat Tuihan, dan berbekal Ombus-ombus No.1 serta dukungan masyarakat istri saya pasti bias menjadi anggota DPRD nantinya,” tukas Walben Siahaan dengan nada optimismenya.
Ketika ditanya apakah usaha lepat Ombus-ombus No.1 itu suatu saat akan hilang? Pria yang suka nyelonoh dan humor ini dengan tegas mengatakan, bahwa usaha itu akan terus dipertahankan oleh keluarganya hingga turun temurun.

Pengunjung Singgah Diwarung Ombus-ombus No.1 Sambil Minum Kopi

Warung atau dalam bahasa Batak disebut Lapo Ombus-ombus No.1 juga menyediakan kopi asli dan hidangan teh manis bagi para tamunya yang singgah ditempat ini. Sambil minum kopi, biasanya pengunjung memesan Lepat Ombus-ombus No.1 yang masih panas. Bisa kita bayangkan bagaimana nikmatnya hidangan itu apalagi dibarengi dengan cuaca dingin dan sejuk Kota Siborongborong.
“ Setiap minggu saya melintas dari sini sebanyak dua kali, dari Kota Pematang Siantar menuju Kota Sibolga dalam rangka tugas kerja dengan mengendarai sepeda motor. Jadi hampir setipa minggunya saya singgah di Lapo Ombus-ombus No.1 ini untuk minum kopi sambil menikmati lepat Ombus-ombus. Kenapa saya selalu singgah disini..? karena jarak antara Kota Pematang Siantar menuju Kota Sibolga pertengahannya Kota Siborongborong. Jadi enak aja menikmati kopi dan lepatnya,” tutur Tony Sirongoringo (32) warga asal Jalan Medan , Kota Pematang Siantar ini, Jumat (30/1) di warung Ombus-ombus No.1 milik Walben Siahaan di Siborongborong.
Mengomentari enak tidaknya Ombus-ombus No.1 yang disuguhkan, Tony mengatakan enak, apalagi kalau sambil minum kopi. “ Enak sih, tapi lebih enaknya kalau panas-panas sambil minum kopi,” katanya.
Tony menyarankan kepada pemilik warung Ombus-ombus No.1, sebaiknya lepat Ombus-ombus itu tetap dapat disuguhkan panas-panas. “Kalau boleh ngasih saran, ombus-ombus itu sebaiknya tetap disuguhkan panas-panas, kadang tidak panas, jadi kurang enak dimakan sambil minum kopi,” imbuh Tony.
Cocok Buat Oleh-oleh
Sedangkan pengunjung lainnya, H.Sardian Siregar (44) yang singgah bersama rombongan keluarga dengan menaiki mobil pribadi di Lapo Ombus-ombus No.1 ini mengatakan, bahwa keluarganya di Medan sering menitipkan agar dibelikan Ombus-ombus No.1 untuk oleh-oleh. “Kalau kami sudah langganan lah Ombus-ombus No.1 ini buat oleh-oleh ke Medan , setiap kami mau ke Medan atau Tebing Tinggi untuk berkunjung ke tempat keluarga selalu membeli Lappet (Lepat) ini,” tukas Sardian Siregar.
Ketika Metro bertanya, kenapa keluarganya selalu memesan Ombus-ombus No.1, Sardian menjelaskan, bahwa sebenarnya yang memakan Ombus-ombus itu nantinya adalah seluruh keluarga saya dan keluarga kami di Medan . “ Kan enak sambil bercerita-cerita atau berkeluh kesah dengan keluarga sambil ngopi dan makan Lappet ini…he…he…,” paparnya.


Komponis Batak Alm.Nahum Situmorang Abadikan Ombus-ombus Dalam Sebuah Lagu


Bagi anda suku Batak, mungkin lagu “Marombus-ombus” karya cipta komponis besar Almarhum Nahum Situmorang sudah tidak asing lagi didengar. Lagu ini malah sudah sering didendangkan oleh para “Parmitu” atau peminum tuak di “Lapo-lapo tuak” (Kedai tuak). Entah faktor apa dulunya yang mengimajinasikan Nahum Situmorang untuk menciptakan lagu bertemakan Ombus-ombus ini yang dikaitkan dengan Si boru Hombing.
Namun, kita pantas untuk mensyukurinya. Kenapa..? karena ternyata untuk mengabadikan sebuah masakan khas bisa juga lewat sebuah lagu. Mungkinkah Almarhum Nahum Situmorang semasa hidupnya juga salah seorang penggemar Lappet (Lepat) Ombus-ombus?. Kita tidak tahu, ataukah lagu itu hanya sekedar hasil karya dengan imajinasi yang kuat..? ataukah Nahum Situmorang memang pernah punya kenangan dengan seorang gadis boru Sihombing..? kita tidak tahu. Karena beliau telah mendahului kita yang menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 20 Oktober 1969 di RSUP Medan .

Inilah syair lagu Marombus-ombus Ciptaan Nahum Situmorang :

Marombus-ombus do, lampet ni Humbang tonggi tabo
Na ngali ari i disi anggo alani ombus-ombus do
Ai boru Hombing do, na paturehon mancai malo
Tung ngangur do datung hushus do rupana pe
Da na uli do
Reff
Oooooo doli-doli, ho naposo na jogi
Dompak Humbang i, lao ma damang da tusi
Siborong-borong i
Molo naung hoji ho, tu boru Hombing tibu ma ro
Lao ma damang da lao ma damang
Tu luat ni parombus-ombus do
Oooooo ale boru Hombing
Paima ma si doli ro
Di Siborong-borong i
Tusi nama si doli ro
Ai boru Hombing do, na paturehon mancai malo
Tung ngangur do datung hushus do rupana pe
Da na uli do
Reff
Oooooo doli-doli, ho naposo na jogi
Dompak Humbang i, lao ma damang da tusi
Siborong-borong i
Oooooo doli-doli, ho naposo na jogi
Dompak Humbang i, lao ma damang da tusi
Siborong-borong i
Oooooo ale boru Hombing
Paima ma si doli ro
Di Siborong-borong i
Tusi nama si doli ro

Sepintas dari lirik lagu itu memang singkat tapi cukup bermakna sesuai dengan kondisi daerah di kawasan daerah Humbang (Siborongborong, Doloksanggul, Lintong Nihuta, dan kawasan lainnya) ini. Tapi yang menjadi pertanyaan, akankah ada lagi pencipta lagu Batak yang mampu menciptakan sebuah lagu untuk sebuah masakan khas dari kawasan Tapanuli.. ? kita hanya bisa berharap atau berbuat.tergantung….
Sementara ini Ombus-ombus masih tetap terjaga, dengan masih utuh adanya beberapa penjaja Ombus-ombus di Simpang tiga Siborongborong yang menggunakan sepeda. Tapi yang perlu kita ketahui, para penjual Ombus-ombus ini bukannya membeli Ombus-ombus yang akan dijualnya dari Warung Walben Siahaan (Anak pencetus nama Ombus-ombus No.1 alm.Anggiat Siahaan), melainkan bikinan sendiri.
Penghasilan para penjual Ombus-ombus sepeda ini memang tidak begitu besar. Keuntungannya hanya berkisar antara Rp.30 ribu hingga Rp.40 ribu per harinya. Namun ada yang sedikit aneh, dari sekitar 8 orang penjual Ombus-ombus bersepeda di Siborongborong saat ini. Apakah itu..? dari delapan orang ini, dibagi dalam dua kelompok, yakni kelompok Desa Somanimbil dan Kelompok Desa Sambariba Horbo. Kenapa demikian…? Inilah mungkin hasil mufakat dari pertikaian sekitar 50 tahun silam antara alm.Anggiat Siahaan dengan Alm.Musik Sihombing yang mempersoalkan nama antara “Lappet Bulung Tetap Panas” karya Alm.Musik Sihombing dengan “Ombus-ombus No.1” karya Anggiat Siahaan.
Kedua kelompok penjual Ombus-ombus tadi, kini harus berbagi hari untuk berjualan di Pasar Siborongborong. Jika hari Senin kelompok dari Desa Somanimbil yang berjualan, maka hari berikutnya adalah kelompok dari Desa Sambariba Horbo, begitulah seterusnya. Mungkin kalau kita nilai, hal ini merupakan persaingan ekonomi berdasarkan musyarawarah dan mufakat. Artinya, persaingan ekonomi sebagaimana dalam ilmu atau prinsip perekonomian dalam ilmu pendidikan yang kita peroleh tidak logis. Tapi inilah sebuah contoh keadilan dari masa silam.(Horden Silalahi/085261000945/0812
63380333)

SEJARAH TARI TOR-TOR SAWAN


Puncak Pusuk Buhit sekitar 1000-1800 meter diatas permukaan laut di kasawan Desa Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir ribuan tahun silam dipercaya orang Batak sebagai awal mula keturunan pertama suku Batak atau disebut “Si Raja Batak”.
Puncak Pusuk Buhit sendiri menjadi sebuah lokasi misteri yang penuh daya magis, konon sejumlah pejabat dan orang-orang Batak bahkan warga dari Luat Sileban (Turis mancanegara) rela mendaki puncak ini guna mendapatkan sebuah harapan dalam berbagai bentuk.
Seiring dengan kehidupan regenerasi keturunan si Raja Batak, berbagai peninggalan bersejarah saat ini banyak kita ketahui seperti situs-situs budaya di kawasan Sianjur Mula-mula, tongkat Tunggal Panaluan, Ulos, Gondang Batak, dll.
Namun yang perlu kita ketahui, dari berbagai narasumber dikawasan Pusuk Buhit yang ditemui oleh penulis mengisahkan, bahwa tari tor-tor sawan atau tari cawan yang diyakini masyarakat batak sebagai sebuah icon, karena tarian ini diyakini memiliki nilai magis adalah berawal dari sebuah mimpi seorang Raja Batak (Tidak disebutkan).

Berikut sejarah singkat Tari Tor-tor Sawan

Berawal dari sebuah mimpi seorang raja batak keturunan GURU TATEA BULAN, di kawasan Desa Sianjur Mula-mula, Puncak Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Dalam mimpinya, sang raja bermimpi bahwa kawasan pegunungan pusuk buhit tempat keturunan pertama si raja batak akan runtuh, sehingga, akibat mimpi tersebut sang raja pun terus menerus gelisah.
Kemudian sang raja memerintahkan Panglimanya (PANGLIMA ULUBALANG) agar memanggil seorang ahli nujum yang bergelar GURU PANGATIHA untuk menanyakan arti mimpinya. Namun sang Guru Pangatiha mengaku tidak tahu arti mimpi sang raja, akan tetapi Guru Pangatiha meminta supaya raja menggelar sebuah acara ritual yang dinamakan acara membuka debata ni parmanukon atau membuka tabir mimpi.
Oleh Guru Pangatiha, kemudian meminta sang raja agar acara membuka tabir mimpi ini dilaksanakan sebelum bulan purnama tiba atau dalam bahasa batak disebut BULAN SAMISARA. Akan tetapi, untuk membuka tabir mimpi itu jelas-jelas tidak dapat terpenuhi, akan tetapi untuk menangkis hal-hal buruk yang akan terjadi ke daerah kekuasaannya, GURU PANGATIHA menghimbau agar sang raja memanggil seorang sibaso atau dukun perempuan, dimana dukun perempuan yang diyakini masih gadis itu bergelar SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI.
Selanjutnya, oleh dukun perempuan tersebut bersama enam gadis lainnya datang memenuhi panggilan raja untuk membersihkan daerahnya dari mara bahaya, ketujuh gadis tersebut kemudian menari sambil menjingjing sebuah mangkuk atau cawan dikepala masing-masing dengan diiringi alunan musik gondang batak. Dengan tarian barbau mistis, ketujuh gadis itupun menari-nari sambil menyiramkan air dalam sawan/cawan keseluruh arah penjuru desa. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan masuk kewilayah kekuasaan raja.

Perlu diketahui, bahwa SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI menari dengan ikat kepala terbuat dari benang tiga warna (merah,hitam dan putih) dan pengikat lain dikitar tubuh (Tidak disebutkan).
Saat ini, entah siapa yang memulai, Tari Tor-tor sawan digelar dengan cara meletakkan 7 (tujuh) cawan masing-masing satu dikepala, masing-masing satu dipundak kanan dan kiri, dan masing-masing dua disetiap lengan sambil menari. Konon, tarian yang demikian sudah sering dipamerkan diberbagai acara resmi saat ini.
Namun yang aslinya tidaklah demikian adanya menurut sumber dari penulis. Dimana yang sebenarnya terjadi, penari sawan ada tujuh gadis yang dipimpin SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI dan enam gadis lainnya dan masing-masing menjinjing sawan/cawan dikepala.
Terlepas dari semua itu, sejarah budaya kita tetap harus kita jaga dan lestarikan, bahkan sebaiknya kita berkarya dan berkarya lagi.(Oleh :Horden Silalahi/081263380333)